Kamis, 03 April 2008

Mangrove Center Lampung

Sumber : http://mangrove.unila.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5&Itemid=36

Provinsi Lampung mempunyai panjang garis pantai kurang lebih sepanjang 1.105 km (termasuk beberapa pulau) dan memiliki sekitar 69 buah pulau. Wilayah pesisirnya dapat dibagi menjadi 4 wilayah yaitu Pantai Barat sepanjang 210 km, Teluk Semangka sepanjang 200 km, Teluk Lampung dan Selat Sunda sepanjang 160 km, dan Pantai Timur sepanjang 270 km. Masing-masing wilayah pantai tersebut mempunyai potensi fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan ekosistem yang berbeda. Potensi yang dapat ditemukan di wilayah pesisir tersebut antara lain hutan mangrove, potensi kelautan (perikanan, rumput laut, terumbu karang), perhubungan, pariwisata, pemukiman penduduk pantai, dan hankam.

Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang mempunyai wilayah pesisir bermangrove. Secara geografis, Kabupaten ini terletak pada 4o35’ LS—4o60’ LS dan 104o45’ BT—105o55’ BT. Secara administratif, Kabupaten Lampung Timur terdiri dari 23 Kecamatan, dengan jumlah desa pantai 10 (sepuluh) dan meliputi 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Labuhan Maringgai dan Pasir Sakti.

Kondisi di wilayah pesisir Lampung Timur sekarang mengalami tekanan dan permasalahan. Tekanan-tekanan ini diakibatkan oleh berbagai macam faktor antara lain adalah : 1) Rendahnya kualitas sumber daya manusia sekitar pesisir, 2) Rendahnya penataan dan penegakan hukum, 3) Belum adanya penataan ruang pesisir, 4) Degradasi habitat wilayah pesisir, 5) Pencemaran wilayah pesisir, 6) Degradasi hutan mangrove yang merupakan green belt di wilayah pesisir, taman nasional, cagar alam laut, 7) Belum optimalnya pengelolaan perikanan, 9) Rawan bencana alam, dan 10) Intrusi air laut.

Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dengan mangrove terdegradasi menggunakan analisis sistem. Analisis sistem ini dimaksudkan agar pendekatan mengatasi ekosistem mangrove yang rusak tidak hanya berdasar pada hubungan sebab akibat, tetapi lebih kepada pendekatan holistik (bio-ekologi, sosial-ekonomi dan penegakan perundangan pengelolaan SDA pesisir).

Universitas Lampung sebagai Perguruan Tinggi Negeri di Lampung mempunyai fungsi Tridharma Perguruan Tinggi yaitu sebagai tempat untuk 1) Melakukan Pendidikan dan Pengajaran, 2) Melakukan Penelitian-penelitian inovatif, dan 3) Pengabdian kepada Masyarakat. Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dipenuhi dalam kegiatan civitas akademika di Universitas Lampung. Sudah menjadi tanggung jawab moral, Universitas Lampung dengan potensi SDM dan sarana/prasarana penunjang untuk ikut menyumbangkan kemampuannnya dalam ikut membangun wilayah pesisir. Di lain pihak, Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur dengan dinas-dinas teknis terkait, sebagai pelaksana pembangunan di daerah, mempunyai kewajiban untuk memajukan wilayah pesisir dan juga mensejahterakan masyarakatnya. Mengingat hal tersebut, keterpaduan pengelolaan antar instansi-instansi terkait (stakeholders) juga merupakan faktor yang harus menjadi perhatian. Berdasarkan berbagai kesamaan kepentingan itulah, maka Masyarakat, Universitas Lampung, dan Pemerintah Daerah mengadakan kerjasama dalam perwujudan “Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir”.

Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mendukung program kegiatan “Pengelolaan Terpadu Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Wilayah Pesisir Lampung Timur”, maka Tim Tripartit dari Universitas Lampung akan mengadakan suatu kegiatan di antaranya adalah Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Hutan Mangrove; Survey Potensi Hutan Mangrove; Studi Pengembangan Poliket Di Hutan Mangrove; Pembuatan Track ferosemen di Tanah Timbul; Survey Potensi Pengembangan Hutan Mangrove Untuk Tambak Ramah Lingkungan; dan Rehabilitasi Hutan Mangrove di lokasi hutan mangrove 700 Ha di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung.

SEJARAH

Awal mula munculnya ide penyerahan hutan mangrove untuk keperluan pendidikan dicetuskan oleh Kepala Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Bapak Sukimin, pada tanggal 4 Desember 2004 (pada saat acara praktikum lapangan mahasiswa Jurusan Manajemen Unila Fakultas Pertanian Unila). Pada waktu itu kepala desa berinisiatif menyerahkan areal hutan mangrove seluas 50 ha kepada Unila sebagai areal hutan pendidikan. Inisiatif tersebut disambut baik oleh dosen Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Unila, yaitu Asihing Kustanti, S.Hut., M.Si. Secara administratif, selanjutnya Asihing Kustanti membuat surat kepada Dekan Fakultas Pertanian (Dr. Ir. Hamim Sudarsono, M.Sc.) yang selanjutnya oleh Dekan Fakultas Pertanian diteruskan ke pihak universitas. Pihak universitas dalam hal ini Pembantu Rektor IV Unila segera menindaklanjuti hal tersebut dan memanggil dan menugaskan Asihing Kustanti untuk segera mengurusi hal tersebut. Pada tanggal 12 Januari 2005, Rektor Unila (Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc.) mengajukan permohonan areal hutan mangrove di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai sebagai hutan pendidikan ke pihak Pemerintah Kabupaten Lampung Timur.

Sejak tahun 2003, Unila telah mulai menerapkan konsep kerjasama Tiga Pihak (Tripartit), yang terdiri dari perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat (termasuk badan usaha/swasta). Pada tanggal 1 Februari 2005 dalam suatu rapat pertemuan di Kabupaten Lampung Timur, Tim Tripartit Unila melakukan langkah-langkah pendekatan kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Timur yaitu dengan mengajukan proposal pegelolaan hutan mangrove sebagai hutan pendidikan. Jajaran Pemerintah Kabupaten Lampung Timur melibatkan Dinas Kehutanan Kabupaten dan Badan Pertanahan Kabupaten Lampung Timur. Hasil pertemuan ini membuahkan rencana kerjasama dan rencana peninjauan lokasi hutan mangrove yang akan ditetapkan menjadi hutan pendidikan.

Pada tanggal 21 Maret 2005, Kepala Desa Margasari bersama masyarakat desa tersebut juga membuat permohonan melalui surat kepada Bupati Lampung Timur berupa usulan untuk menyerahkan pengelolaan hutan mangrove seluas ±700 hektar kepada Universitas Lampung untuk menjadi hutan pendidikan. Pengelolaan hutan pendidikan tersebut tentu saja bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove tersebut. Bapak Sukimin selaku Kepala Desa Margasari menyadari bahwa hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang harus dijaga dan dilestarikan karena dapat mencegah abrasi pantai oleh pergerakan air laut dan bahkan dapat menahan gelombang pasang seperti tsunami. Diketahui bahwa Beberapa bulan sebelumnya yaitu di tanggal 26 Desember 2004 telah terjadi bencana Alam gempa bumi dan gelombang tsunami yang menimpa Propinsi Nagngroe Aceh Darussalam yang menelan korban jiwa dan harta yang sangat besar jumlahnya. Gelombang tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam tersebut terjadi demikian dahysatnya, karena garis pantai di Nanggroe Aceh Darussalam hampir sama sekali tidak ada objek yang dapat menahan gelombang pasang, seperti bangunan atau hutan mangrove.

Pada tanggal 16 dan 22 Februari 2005, Tim Tripartit Hutan Mangrove Unila yang terdiri dari Ir. Anshori Djausal, M.T. (Pembantu Rektor IV, merangkap Ketua Tim Tirpartit), Asihing Kustanti, S.Hut, M.Si., Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. (Ketua Lembaga Pengabdian Unila), Masdar Helmi, S.T., D.E.A., Ir. Syahrio Tantalo, M.P., Indra Gumay Yudha, S.Pi, M.Si., Yulia Rahma Fitriana, S.Hut, dan Dr. Endang Linirin, .M.Sc. menyusun perubahan dan penambahan program kerja dan anggaran kegiatan hutan mangrove sebagai hutan pendidikan. Pada tanggal 24 Februari 2005. Tim Tripartit Unila mengadakan pertemuan dengan Rektor Unila, yang intinya Rektor Unila menyatakan: (1) sangat mendukung kegiatan Hutan Mangrove, (2) membuat program jejaring dan pusat informasi yang mengusahakan hutan pendidikan seluas 700 hektar, (3) kegiatan budidaya poliket (cacing laut) termasuk dalam pengelolaan hutan mangrove, dan (4) mengusakanan sumberdana yang lain untuk menunjang kegiatna hutan mangrove.

Pada tanggal 26 Februari 2005, bertempat di Ruang Kerja TIm Tripartit Unila, Asihing Kustanti, Wan Abbas Zakaria, Masdar Helmi, Syahrio Tantalo, Indra Gumay Yudha, Yulia Rahma Fitriana menyampaikan Proposal Pengembangan Hutan Mangrove dan konsep naskah Perjanjian Kerjasama kepada Asisten I, Kabupaten Lampung Timur. Proposal Pengembangan juta diserahkan kepada industri-industri (Central Pertiwi Bahari, BCD, pengeboran minyak, perusahaan rajungan) selama menunggu hasil dari Pemda Lampung Timur.

Pada tanggal 10 Maret 2005, bertempat di Kantor Desa Margasari dan Lapangan, Tim Tripartit Unila, yaitu: Ir. Anshori Djausal, M.T. Pembantu Rektor IV Unila), Asihing Kustanti, Massdar Helmi, Yulia Rahma Fitriana, Anjar (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Lamtim, Sigit (Badan Pertanhan Daerah Lamtim), perwakilan kecamatan, Sukimin (Kades Margasari) dan aparat desa, Theo (LSM Watala) melakukan: (1) pengecekan dan pengukuran kasar lahan, (2) akan mengadakan persetujuan yang menjelaskan bahwa pihak desa mempercayakan Unila untuk mngelola mangrove di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

Pada tanggal 18 Maret 2005, bertempat di ruang rapat Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, Tim Tripartit Unila yang dipimpin Pembantu Rektor IV (Ir. Anshori Djausal, M.T) beserta Asihing Kustanti, Yulia Rahma Fitriana, Hamim Sudarsono (Dekan Pertanian Unila), mendapatkan penjelasan dari Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Lampung bahwa akan tersedia dana sebesar 12 Milyar Rupiah untuk dikelola Unila dalam rangka pengelolaan terpadu hutan mangrove di Desa Margasari, khususnya untuk pembangunan Mangrove Centre. Unila diminta untuk: (1) segera melakukan perbaikan proposal dengan jumlah dana yang telah sesuaikan yang selajutnya akan diproses ke tingkat nasional (di Jakarta) dan (2) segera akan mengadakan lokakarya yang menghadirkan pihak-pihak yang terkait yang berlokasi di Unila.

Pada tanggal 19 Maret 2005 bertempat di Desa Margasari, Yulia Rahma Fitriana membantu pembuatan surat pernyataan dari pihak desa mengenai hak pengelolaan hutan mangrove Margasari yang ditujukan ke Bupati Lampung Timur dan surat pernyataan tersebut ditanda tangani oleh perwakilan kelompok warga, kepala desa, dan Camat Labuhan Maringgai, ditebuskan kepada BPD Lampung Timur. Bersamaan dengan hal itu di waktu yang sama tanggal 19 Maret 2005, bertempat di Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, Asihing Kustanti, Masdar Helmi, dan jajaran Dinas Kehutanan Propinsi Lampung melakukan perbaikan proposal dengan penyesuaian anggaran dana yang baru selama lima tahun

Pada tanggal 22 Maret 2005, bertempat di Desa Margasari, Tim Unila membantu membuatkan surat pernyataan yang ditujukan ke Bupati Lampung Timur mengalami perubahan format, yaitu tidak perlu ditandatangani camat dan tembusannya kepada pihak Unila, Kecamatan, BPD Lampung Timur, dan pihak desa dan surat tersebut dilampirkan dengan rangkuman hasil diskusi yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2005.

Pada tanggal 02 April 2005, bertempat di rumah kediaman Kepala Desa Margasari, Asihing Kustanti, Yulia Rahma Fitriana, Kepala Desa Sukimin, Sekretaris Desa, wakil-wakil kelompok warga Margasari dan Sriminosari, masyarakat desa membantu para warga desa membuat proposal disertai dengan keingininan dari pihak desa mengenai kegiatan yang akan dilakukan.\

Pada tanggal 06 April 2005, pertemuan yang bertempat di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lampung Timur, Tim Tripartit Unila yang diketuai oleh Ir. Anshori Djausal (PR IV Unila), Asihing Kustanti, Endang Linirin, Wan Abbas Zakaria, Masdar Helmi, Yulia Rahma Fitriana, serta beberapa Kepala Dinas dalam Jajaran Pemerintah Kabupaten Lampung Timur maupun yang mewakilinya, yang menghasilkan: (1) segera mengurus surat pernyataan permohonan kelola kawasan kepada Bupati Lampung Timur sebagai langkah awal legalisasi pengelolaan kawasan dan (2) dinas-dinas terkait memplotkan keterlibatannya dalam program-program yang ditawarkan dan selanjutnya digabungkan menjadi keterpaduan dalam pengelolaan kawasan (hasil terlampir)

Pada tanggal 10 Mei 2005 dan 11 Mei 2005 bertempat di Lantai 2, Gedung Unila, dilakukan lokakarya yang dihadiri oleh Tim Tripartit Unila, Jajaran Pemerintah Propinsi Lampung, Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Pemda Kabupaten Lampung Timur, serta Masyarakat sekitar kawasan Hutan Mangrove. Adapun hasil lokakarya antara lain: (1) Penyempurnaan program kegiatan, (2) Penyelesaian masalah pertanahan akan segera dilakukan, dan (3) Persetujuan naskah kerjasama antara Bupati Lampung Timur dengan Rektor Unila

Pada tanggal 7 Juni 2005, bertempat di Bapedalda Lampung Timur, Tim Tripartit Unila berasama jajaran Bapedalda Lamtim, Jajaran Taman Nasional Way Kambas, dan LSM Watala melakukan pertemuan yang membahas: (1) Persiapan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Lamtim, (2) Penyiapan materi untuk di kemukakan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, dan (3) Pembicaraan mengenai sharing dana penyelenggaraan Hari Lingkungan Hidup tersebut.

Pada tanggal 15 Juni 2005, bertempat di kantor Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, dilakukan pertemuan yang dihadiri oleh para kepala desa, camat, instansi, dinas-dinas di lingkungan Pemkab Lamtim, LSM Watala, TN Way Kambas, dan Unila, yang membahas tentang kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Lamtim. Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 2005, bertempat di Desa Margasari

Tim Tripartit Unila, masyarakat dan kelompok warga, BPN Pemkab Lamtim, BPD Lamtim, LSM Watala melakukan inventarisasi tanah yang telah bersertifikat, yang hasilnya adalah terdapat 13 tanah yang memiliki sertifikat.

Pada tanggal 23 Juni 2005, bertempat di Pemkab Lamtim, dilakukan pertemuan yang dihadiri oleh BPN Propinsi, BPN Kab. Lamtim, BPD Kab. Lamtim, Tim Tripartit Unila, Tim pengelolaan terpadu mangrove Lamtim melakukan: (1) Pengukuran lahan meliputi lahan yang timbul tenggelam (tanah timbul), (2) menetapkan lokasi tambak merupakan Green Belt mangrove, dan (3) Tim Pemkab Lamtim sudah menyediakan dana sebesar 70 juta per tahun untuk kegiatan operasional Tim Terpadu Hutan Mangrove.

Pada tanggal 23 Agustus 2005, bertempat di Pemkab Lamtim dilakukan pertemuan yang dihadiri oleh Instansi di Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, Tim Terpadu Lampung Timur, Unila (yang diwakili oleh Asihing, Erwanto, Yulia Rahma Fitria), dan LSM Watala. Melakukan pembahasan tentang: (1) mengenai surat izin lokasi, (2) penyampaian hasil pengukuran sementara kawasan oleh BPN seluas 481 hektar, (3) akan segera dilakukan penerbitan surat ijin kelola setelah sebelumnya mengadakan rapat koordinasi pihak-piak yang terlibat dalam penerbitan, (4) BPN Kabupaten Lamtim akan segera mengajukan spesifikasi patok untuk penandaan kawasan, (5) pengukuran secara kadastral akan dilakukan setelah surat ijin kelola diterbitkan

Pada tanggal 23 September 2005, dilakukan pertemuan yang bertempat di Pemkab Lamtim dan dipimpin oleh Wakil Bupati Lamtim (Drs. Noverisman Subing), dihadiri oleh Tim Proyek TNWK, Balai TNWK, JICA, Tim Mangrove Tripartit Unila yang dipimpin oleh Ir. Anshori Djausal, M.T, dan, LSM Watala. Dalam pertemuan ini dilakukan: (1) expose mengenai kegiatan yang melibatkan Unila di Lampung Timur, (2) dukungan dari Pemkab Lampung Timur (oleh Wakil Bupati) atas pelaksanaan proyek, dan (3) memutuskan tetap melibatkan masyarakat dan instansi terkait dalam pelaksanaannya

Pada tanggal 23 September 2005, bertempat di Kantor BPD Kabupaten Lamtim, Tim Tripartit Unila, Tim Koordinasi Mangrove Pemkab Lampung TImur, Ketua Badan Pertanahan Daerah, Badan Pertanahan Nasional, dan Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Lampung Timur melakukan rapat tentang: (1) Pembahasan penerbitan Ijin Lokasi seluas 700 ha berdasarkan info masyarakat, tidak menjadi masalah disebutkan di ijin lokasi (BPN), (2) pengukuran kadastral akan dilakukan untuk mengetahui luasan kawasan hutan secara pasti yang akan diberikan ke UNILA, dan (3) peserta rapat menyetujui penyebutan luasan tersebut.

Pada tanggal 15 Desember 2005, dilakukan pertemuan yang bertempat di Kantor Bupati Lamtim, dihadiri oleh Bupati Lampung Timur (Satono, S.H., S.P), Ir. Anshori Djausal, M.T. (Purek IV Unila), Asihing Kustanti, Masdar Helmi, Kepala Disbunhut Pemkab Lampung Timur, yang selanjutkan dilakukan Penandatanganan Nota Kesepakatan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur dengan Universitas Lampung tentang Pengelolaan Areal Ekosistem Hutan Mangrove seluas 700 Ha di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Nota Kesepakatan tersebut ditanda-tangani sebagai dasar penerbitan Ijin Lokasi Pengelolaan Areal Ekosistem Hutan Mangrove seluas 700 Ha di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

Pada tanggal 23 Desember 2005 bertempat di Kabupaten Lampung Timur, BPN dan BPD Kab. Lamtim menerbitkan Ijin Lokasi Pengelolaan Hutan Mangrove 700 Ha. Selannutnya, pada tanggal 25 Januari 2006, bertempat di Balai Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai, dilakukan Penyerahan Ijin Lokasi Pengelolaan Hutan Mangrove seluas 700 hektar dari Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dalam hal ini diwakili oleh Asisten I, yaitu Bustami, S.H., kepada Rektor Universitas Lampung yaitu Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc. Dalam acara tersebut hadir pula Pembantu Rektor I (Prof. Dr. Ir. Tirza Hanum, M.S.), Pembantu Rektor III (Drs. M. Thoha B. Sampurna Jaya, M.S.), beberapa orang dekan dari Unila, para pejabat di jajaran Pemkab Lampung Timur, dan masyarakat Desa Margasari. Setelah acara serah terima tersebut dilakukan penanaman mangrove secara simbolis oleh Asisten I Pemakb Lampung dan Rektor Unila, serta jajaran pemerintah Kab. Lampung Timur dan Unila.

Prosesi Penyerahan Surat Ijin Pengelolaan Lahan Mangrove dari Asisten I Pemkab Lamtim (A. Bustami, S.H.) kepada Rektor Unila (Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc.) dilanjutkan dengan penanaman mangrove di lokasi lahan mangrove

EKOSISTEM MANGROVE

 Istilah mangrove menunjukkan suatu kelompok jenis tumbuhan yang hidup di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis yang memiliki fungsi istimewa pada lingkungan yang mengandung kadar garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan kondisi tanah anaerob. Secara ringkas, hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Hutan mangrove disebut juga tidal forest, coastal woodland, ataupun hutan payau.

Sumberdaya mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem yang terdiri dari: (1) satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove); (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove namun dapat juga hidup di habitat non mangrove (non exclusive mangrove); (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove, baik yang menetap, semen-tara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan, maupun khusus hidup di habitat mangrove; (4) proses-proses yang terjadi di habitat mangrove; (5) daratan terbuka/ hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut; (6) masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada lahan mangrove.

Oleh karena kawasan mangrove memiliki peranan yang sangat penting, maka diperlukan pengelolaan yang pada dasarnya memberikan legitimasi agar dapat tetap lestari. Upaya memberikan legitimasi kawasan hutan mangrove sebagai suatu bentuk sabuk hijau (green belt) di sepanjang pantai dan tepi sungai sebagai areal yang dilindungi dikuatkan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan No. KB 550/264/Kpts/4/1984 dan No. 082/Kpts-II/1984 tanggal 30 April 1984 yang di antaranya menyebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan Bersama ini selanjutnya dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 507/IV-BPHH/1990 yang di antaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai.

 Penentuan lebar sabuk hijau tersebut selanjutnya lebih dikuatkan lagi dengan Kepu-tusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, di mana kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimum 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Selanjutnya berdasarkan hasil kajian ekologis, disarankan lebar sabuk hijau pada kawasan pantai berhutan mangrove minimal selebar 130 dikalikan nilai rata-rata perbedaan antara air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur dari air surut terendah ke arah daratan.

Areal silvo-fishery berbatasan langsung dengan areal rehabilitasi hutan mangrove setelah ketebalan 300 meter. Pada areal ini tetap dilakukan rehabilitasi mangrove yakni penanaman mangrove dengan kombinasi usaha perikanan. Teknik-teknik yang dapat dikembangkan sangat bervariasi yaitu model empang parit, sistem larikan mangrove kemudian kolam tambak baru larikan mangrove lagi dan seterusnya, ujicoba teknik silvo-fishery dengan model larikan mangrove dipadu dengan kolam intensif, ujicoba teknik budidaya kepiting, ujicoba teknik budidaya kakap putih/ kerapu/banding dan sebagainya.

Pada pendekatan silvo-fishery, diperlukan adanya pembinaan mengenai teknik silvi-kultur dan pembinaan teknik budidaya serta pemasaran atau penampungan hasil produksi. Pembinaan mengenai teknik silvikultur dapat dilakukan oleh lembaga teknis dan perguruan tinggi dengan didukung dana dari pemerintah.

Skema Pengaturan Areal Jalur Hijau Mangrove

Pengelolaan green belt di daerah kawasan Pantai Timur Lampung harus didekati secara komprehensif, karena permasalahan yang ada saat ini sangat kompleks. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah harus mengembalikan fungsi dari green belt dengan tetap memperhatikan nasib masyarakat yang sudah terlanjur membuka tambak secara illegal di kawasan tersebut.

Oleh karena itu selain aspek pemulihan hutan mangrove, juga tidak boleh mengesam-pingkan aspek ekonomi yang mungkin dilakukan pada jalur green belt. Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah menghutankan kawasan yang berbatasan langsung dengan laut pada ketebalan tertentu sesuai dengan ketentuan yang ada (± 200-300 meter), kemudian kawasan sisanya dapat diusahakan dengan usaha tambak berwawasan lingkungan (teknik silvo-fishery).

Silvofishery

 Kawasan hutan mangrove yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi terus menerus mengalami degradasi akibat dikonversi dan berubah fungsi untuk kegiatan lainnya, seperti pemukiman, pariwisata, perhubungan, reklamasi pantai, budidaya perikanan dan sebagainya. Disinyalir bahwa konversi lahan mangrove untuk pemu-kiman dan tambak udang merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan yang cukup besar.

Untuk melindungi kawasan mangrove dari kerusakan lebih lanjut, telah diupayakan untuk dilakukan reforestasi (penghutanan kembali) di beberapa tempat, terutama kawasan-kawasan tepi pantai, sebagai barrier abrasi dan intrusi air laut. Namun demikian, upaya tersebut pada umumnya mengalami kegagalan yang disebabkan oleh adanya konflik kepentingan para penggunanya (user). Sebagai contoh, kawasan yang diperuntukkan sebagai green belt lebih banyak dibuka untuk kegiatan budidaya air payau (brackishwater aquaculture), seperti tambak udang, dan saat akan direfores-tasi justru mengalami hambatan yang cukup berarti.

Untuk mengatasi persoalan konflik antar pengguna tersebut, maka perlu dicari solusi yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan para pengguna. Di satu sisi koservasi kawasan mangrove terus berjalan dan di sisi lain kegiatan budidaya perikanan tidak terhambat. Salah satu konsep pengembangan yang dapat mengkom-binasikan antara pemanfaatan dan sekaligus konservasi di kawasan mangrove adalah silvo-fishery (wanamina).

Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.

Silvo-fishery telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong Kong, Thailand, Vietnam, Pilipina, Kenya dan Jamaika. Di Indonesia, silvofishery lebih dikenal dengan sistem empang parit dan telah dikembangkan oleh Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Ditjen Perikanan dalam berbagai research project di Sulawesi Selatan, Cikalong dan Blanakan di Jawa Barat.

Silvofishery yang dikembangkan di Indonesia memiliki 2 model/tipe, yaitu empang parit atau lebih dikenal dengan tambak tumpang sari, serta komplangan.

Empang Parit

Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikem-bangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan/memelihara ikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedang-kan bagian caren atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan di-reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove (Bengen, 2000). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997), kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohon/m2.

Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya perikanan, karena produktivitas tambak silvofishery sangat tergantung pada bahan-bahan organik yang berasal dari serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan vegetasi yang rendah cocok.


Gambar 2. Wanamina Pola Empang Parit

diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora sp) atau dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia spp).

Kanal untuk memelihara ikan/udang berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari muka pelataran. Dengan berbagai modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta udang dan kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut.

Empang Parit yang Disempurnakan

Pada dasarnya sistem empang parit yang disempurnakan (Gambar 3) tidak berbeda jauh dengan sistem empang parit. Perbedaannya hanya terletak pada disain lahan untuk menanam mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah. Model ini memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan empang parit, karena adanya tanggul yang mengelilingi lahan pelataran yang akan digunakan untuk menanam mangrove.

Gambar 3. Empang Parit yang Disempurnakan

Sistem Komplangan (Selang-seling)

Model Komplangan (Gambar 4) merupakan suatu sistem silvo-fishery dengan desain tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove. Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas areal yang akan digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara 2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha. Model ini merupakan suatu metode budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).

Sistem komplangan yang diterapkan tegaklurus dengan garis pantai memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman sumberdaya alam hayati. Dalam pelaksanaannya, silvofishery model komplangan ini lebih cocok diterapkan pada areal dengan kepemilikan yang jelas, seperti lahan milik pemerintah atau lahan-lahan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat.

Gambar 4. Wanamina Pola Komplangan

Dari beberapa penjelasan tersebut, diketahui bahwa silvofishery sistem empang parit dan komplangan dapat diterapkan untuk menjaga kelestarian dan fungsi kawasan mangrove dengan kegiatan budidaya perikanan tetap dapat berlangsung di areal tersebut. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penerapannya kepada masyarakat.

Dibandingkan dengan sistem tambak terbuka, silvofishery memiliki beberapa kendala yang dapat mengganggu proses budidaya perikanan, sehingga masyarakat enggan untuk melakukannya. Beberapa kendala tersebut antara lain:
  1. Areal budidaya menjadi berkurang, sehingga kapasitas produksi juga dapat menurun.
  2. Sirkulasi air berkurang dan cenderung stagnan, sehingga oksigen terlarut juga rendah.
  3. Penetrasi cahaya matahari akan terhalang oleh pohon mangrove yang dapat menyebabkan Penurunan produktivitas phytoplanton dan algae bentik yang menjadi sumber makanan alami ikan/udang yang dibudi-dayakan.
  4. Hilangnya fungsi pelataran sebagai tempat difusi oksigen dari udara ke air.
  5. Tannin yang berasal dari mangrove dapat menimbulkan potensi toksik terhadap ikan/udang yang Dibudidayakan.
  6. Areal mangrove juga berpotensi sebagai tempat hidup beberapa jenis hama dan carrier penyakityang dapat menyerang ikan/udang yang dibudidayakan.

Di samping itu kegiatan ekonomi masyarakat dapat juga diarahkan pada bidang lain yang tidak secara langsung bersinggungan dengan hutan mangrove atau masyarakat menggali dan memanfaatkan potensi ekonomi yang lain dari hutan mangrove yakni: (1) potensi ekowisata, (2) budidaya kerang, (3) budidaya tiram, (4) budidaya ikan, (5) budidaya udang , dan (6) usaha gula nipah, dan lain-lain.

VISI DAN MISI

Visi: Pada tahun 2025, Mangrove Center Lampung menjadi prasarana hutan pendidikan bagi pelajar, mahasiswa, peneliti, masyarakat dan menjadi pusat pemberdayaan masyarakat yang berkeadilan.

Misi:
1. Melaksanakan perencanaan, pengelolaan, dan pelaporan kegiatan mangrove berwawasan
lingkungan.
2. Menjadikan kawasan mangrove lestari, dan memberdayakan ekonomi kerakyatan
3. Mengembangkan teknologi hutan mangrove berwawasan lingkungan
4. Melaksanakan kegiatan pendidikan untuk menghasilkan teknologi pengelolaan mangrove yang
berwawasan lingkungan.
5. Menjadikan pusat informasi pengelolaan mangrove berbasis masyarakat di Sumatera.

TUJUAN-TUJUAN

Tujuan dari pengelolaan terpadu hutan mangrove berbasis kemasyarakatan di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung yang merupakan kerjasama tripartit antara masyarakat, Universitas Lampung dan pemerintah daerah secara umum terdiri dari :

A.Tujuan Jangka Pendek

1. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam pengelolaan wilayah pesisir baik dari
pihak masyarakat, Universitas Lampung, dan pemerintah daerah.
2. Terbangunnya keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sebagai pilot project untuk lebih
meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pembangunan.
3. Meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dengan program pemberdayaan baik secara sosial
maupun ekonomis, dan peningkatan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) pemerintah daerah.

B.Tujuan Jangka Panjang

Tujuan jangka panjang kegiatan ini adalah terwujudnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu untuk keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta menjadi permodelan pengelolaan mangrove skala nasional.

Tidak ada komentar: