Jumat, 09 Desember 2005

ADB lanjutkan Proyek pemberdayaan pesisir dan laut di NTT

Tanggal : 9 Desember 2005
Sumber : http://www.ntt-online.org/2005/12/09/adb-lanjutkan-proyek-pemberdayaan-pesisir-dan-laut-di-ntt/

Kupang, NTT Online - Bank Pembangunan Asia (ADB) akan melanjutkan proyek pemberdayaan pesisir dan laut di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atau yang lebih dikenal dengan “Marine and Coastal Management Project (MCRMP)”.

“Kami perlu mengakomodir permasalahan-permasalahan yang terjadi selama MCRMP dilaksanakan di NTT agar pelaksanaan tahap berikut makin berkualitas,” kata pejabat ADB asal Philipina, Nilda Calma kepada para wartawan usai bertemu Gubernur NTT, Piet Aleksander Tallo, S.H, di Kupang, Rabu (7/12).

Calma didampingi pejabat ADB lainnya asal Jepang, Kazuyuki Nagao dan Kepala Pengguna Anggaran (KPA) MCRMP di Indonesia, Agung Tri Prasetyo serta pejabat Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sejumlah pejabat Departemen Perikanan dan Kelautan.

Dia mengatakan, pelaksanaan program MCRMP di NTT sudah setengah perjalanan sehingga perlu dievaluasi agar terlaksana sesuai target dan berkelanjutan di tahun mendatang.

“ADB menghendaki adanya peningkatan kualitas proyek MCRMP yang didukung justifikasi (penegakan hukum) yang kuat. Berbagai persoalan yang mencuat dalam proses pelaksanaan akan dijadikan pelajaran menuju kesuksesan di masa mendatang,” katanya. Dia berharap berbagai komponen terkait di Pemerintahan Propinsi NTT dapat memanfaatkan peluang dukungan anggaran pemberdayaan pesisir dan laut NTT yang ditawarkan ADB.

Sementara itu, Kabid Perencanaan Pembangunan (PP) IV Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTT, Ir. Dani Suhadi mengatakan, prinsip-prinsip MCRMP sudah dilaksanakan Pemerintah Propinsi NTT sesuai rencana strategis dan zonasi wilayah perairan dan laut, rencana pengelolaan serta rencana aksi.

Komponen kegiatan yang sudah dan sedang dilaksanakan di NTT berupa pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang ditunjang komponen data dan informasi spesial, penegakan hukum pemanfaatan sumber daya laut dan komponen investasi.

“ADB memberikan penguatan kapasitas terhadap pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengelolaan pesisir dan laut secara berkelanjutan. Jenis kegiatannya berupa pendidikan dan pelatihan agar pihak pengelola mampu mengoptimalkan potensi yang ada,” ujarnya.

Suhadi mengatakan, para pengelola sumber daya laut juga dibekali pengetahuan tentang kerangka hukum dan peraturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di NTT. Selain itu, para pengelola diberikan pengetahuan yang cukup tentang peningkatan kondisi sosio-ekonomi dan ekosistem pada habitat pesisir terpilih.

“Sejauh ini proyek MCRMP telah menghasilkan rancangan Perda tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut NTT dan tersusunnya naskah akademik pengelolaan wilayah pesisir. Juga sudah ada 60 aparatur terlatih di bidang pengelolaan pesisir,” katanya. Antara

Jumat, 28 Oktober 2005

Tanggal : 28 Oktober 05
Sumber : http://www.sumbawanews.com/?view=lihatartikel&id=995&topik=3

Secara geografis, Pulau Lombok dan Pulau Bali memang terpisah. Batasnya jelas. Selat Lombok, yang membentang di sepanjang pesisir barat Pulau Lombok atau di pesisir timur Pulau Bali, menghubungkan kedua pulau kecil di wilayah Nusa Tenggara ini. Tetapi, dari sisi sejarah dan budaya, keduanya memiliki kedekatan khusus yang menjadikan Lombok dan Bali seperti dua saudara sekandung. Bahkan, sampai muncul istilah, ”di Lombok kita bisa menemukan Bali”.

Kedekatan budaya Bali dan Lombok memang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kedua pulau bertetangga ini. Diawali dengan masuknya pengaruh paham Siwa-Buddha dari Pulau Jawa yang dibawa para migran dari kerajaan-kerajaan Jawa sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, sampai infiltrasi Kerajaan Hindu Majapahit yang mengenalkan ajaran Hindu-Buddha ke penjuru timur wilayah Nusantara pada abad ke-7 M.

Sejumlah penanda masih terlihat jelas hingga saat ini. Di sejumlah tempat di Pulau Lombok dan Bali terdapat nama-nama desa yang mengadopsi nama tempat di Jawa. Sebut saja, Kediri, Pajang, ataupun Mataram, yang kini menjadi nama ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Kedekatan sejarah dan budaya penduduk kedua pulau ini menjadi lebih kental pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem di Pulau Bali sekitar abad ke-17 M, yang menjadikan Lombok sebagai hinterland-nya Karangasem.

Pendatang asal Bali yang bermigrasi ke Lombok pada zaman kerajaan itu memanggil penduduk Sasak dengan sebutan semeton, yang berarti saudara. Sebaliknya, terhadap warga Bali dan etnis non-Sasak lainnya, masyarakat Sasak memberikan panggilan hormat, batur, yang berarti sahabat. Batur Bali berarti sahabat dari Bali, Batur Jawa bermakna sahabat dari Jawa.

Bahasa Bali-Lombok

Salah satu kedekatan budaya antara Lombok dan Bali lainnya adalah bahasa. Sebelum ramai didatangi beragam etnis, Pulau Lombok sudah dihuni masyarakat Sasak yang disebut sebagai penduduk asli. Ragam bahasa antara Lombok dan Bali hampir serupa, sama-sama bersumber dari bahasa Kawi dengan aksara Jawa Kuno.

”Huruf aksara Sasak dan Bali 100 persen sama, hanacaraka-nya berjumlah 18. Ini berbeda dengan aksara di Jawa yang lebih banyak dua aksara. Bedanya, penulisan aksara Sasak lebih tegas dibanding aksara Bali,” ujar pemerhati budaya Sasak, I Gde Mandia, kepada tim Lintas Timur-Barat di Mataram, Minggu (23/10).

Begitu juga dalam teknik pencatatan. Tradisi menulis di daun lontar dilakukan pujangga dan sastrawan di Bali dan Lombok. Teknik ini dilanjutkan dengan tradisi membaca naskah sastra, pepawosan dalam budaya Sasak dan mabebawos dalam budaya Bali.

Kedekatan kultural itu dimanifestasikan pula dalam kehidupan beragama. Meskipun kini mayoritas masyarakat Sasak menganut agama Islam, namun dalam sekelompok kecil dari mereka masih menjalankan tradisi Watu Telu tersebut yang kemudian dikenal penganut Islam Watu Telu.

”Agama Tirta, yang berkembang menjadi agama Hindu, dan Watu Telu merupakan kepercayaan yang hampir sama, baik dari bentuk pemujaan maupun sarananya, yang disebut kemalik atau semacam tugu pemujaan,” kata Mandia. ”Ketika Islam semakin berkembang di Lombok, perlahan kemalik ini menghilang karena para penggrembe atau pemeluk kepercayaan itu beralih menjadi Muslim,” ujar mantan Kepala Taman Budaya Mataram ini.

”Di beberapa pura, kemalik ini masih ada dan disebut sebagai pelinggih kemalik, seperti di Pura Lingsar, Pura Suranadi, juga di Medaing dan Narmada,” lanjut Mandia.

Dalam ritual upacara masyarakat Hindu di Lombok dikenal tradisi melantunkan tembang Turun Taun saat berlangsungnya upacara sakral memohon turunnya hujan. Upacara ini digelar di pura setempat menjelang datangnya musim tanam.

Meskipun dilantunkan masyarakat Hindu, ragam bahasa dan lagunya jelas menunjukkan pengaruh Sasak, ditambah beberapa sisipan kata-kata bernuansa Islam. Sebait lagu ini, misalnya, Turun Taun Leq Gedong Sari//Mumbul Katon Suarge Mulie//Langan Dee Sida Allah Nurunang Sari//Sarin Merta Sarin Sedana, yang intinya kira-kira bermakna semoga Tuhan segera menurunkan hujan sebagai inti kebahagiaan.

Kata sangkaq dan kembeq (kenapa), lasingan, timaq (walau), aro (ah), kelaq moto (sayur bening), dalam bahasa Sasak, kata Mandia, antara lain juga diadopsi sebagai percakapan sehari-hari masyarakat Bali di Lombok.

Akulturasi kearifan

Akulturasi budaya antara penduduk lokal dan Bali serta Jawa juga terlihat dalam busana dan tradisi masyarakat. Misalnya, ikat kepala, yang dalam tata busana adat Sasak disebut sapuk (dipakai pria), mirip dengan destar dalam busana Bali.

Kebiasaan nebon, suami yang membiarkan rambutnya gondrong selama sang istri hamil, dikenal dalam tradisi Sasak dan Lombok. Rambut sang suami baru dipotong setelah istrinya melahirkan. Selama nebon, kegiatan rumah tangga ditangani suami. Kebiasaan ini dipertahankan dengan tujuan demi melahirkan generasi yang bibit, bebet, dan bobotnya berkualitas, juga kesehatan jasmani dan rohaninya lebih baik.

”Dulu, kalau mau berkunjung ke rumah seorang gadis, meskipun keduanya sama-sama keluarga Bali, sang pemuda harus bisa membacakan isi lontar Pesasakan, yang bahasa pantunnya murni menggunakan bahasa Sasak,” kata Mandia.

Mandia mengakui, tradisi yang sarat kearifan lokal tersebut kini sudah semakin memudar, bahkan menghilang, karena jarang dipraktikkan. Salah satunya, kebiasaan bertukar bahasa antara batur Bali, batur Jawa, dan semeton Sasak. ”Selain menjadi alat berkomunikasi, bahasa juga merupakan alat mempererat hubungan sosial dan alat pemersatu,” ujar Mandia mengakhiri perbincangan. (KHAERUL ANWAR/ COKORDA YUSDISTIRA)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/28/Lintimbar/2161513.htm

Minggu, 06 Maret 2005

PULAU LIWUNGAN DI KABUPATEN PANDEGLANG

Tanggal : 6 Maret 2005
Sumber : http://www.dkp-banten.go.id/berita/05/mar05-pulau.html


Pulau Liwungan merupakan salah satu gugus kepulauan yang terletak di Kabupaten Pandeglang, tepatnya di Kecamatan Panimbang. Pulau ini memiliki luas ± 50 hektare dengan kondisi pantai karang dan berbatu.

Seperti kebanyakan pulau-pulau kecil di Kabupaten Pandeglang, Pulau Liwungan merupakan pulau yang belum secara maskimal dimanfaatkan, hal ini terlihat dari tidak adanya penduduk yang menetap serta tidak adanya sarana dan prasarana umum yang dibangun di pulau itu.

Kalau dilihat dari kondisi fisik alami, Pulau Liwungan diketahui memiliki sedikit hutan mangrove, memiliki biota air padang lamun dan terumbu karang. Untuk potensi perikanan, pulau ini memiliki potensi budidaya laut yang cukup bagus, diantaranya untuk budidaya rumput laut dan pertambakan udang. Hal ini dikarenakan kondisi perairan yang masih relative bersih dan belum terkontaminasi oleh pencemaran laut.

Dari segi penangkapan ikan, perairan sekitar Pulau Liwungan merupakan fishing ground yang cukup potensial. Saat Samudera Biru mengunjungi pulau itu beberapa waktu lalu terlihat puluhan kapal nelayan sedang melakukan penangkapan ikan di daerah ini, rata-rata mereka menggunakan alat tangkap jaring payang.

Secara umum, Kabupaten Pandeglang memiliki 14 (empat belas) pulau-pulau kecil yang tersebar di 4 (empat) kecamatan. 5 (lima) pulau diantaranya termasuk dalam Taman Nasional Ujung Kulon yakni : Pulau Pamagangan, Pulau Boboko, Pulau Handeuleum, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Untuk potensi peluang investasi di pulau-pulau kecil di Kabupaten Pandeglang secara umum meliputi: bidang pertambangan, kelautan dan perikanan, dan pariwisata. Untuk sector kelautan dan perikanan dapat dikembangkan budidaya laut dan penangkapan ikan.

Permasalahan umum pengembangan pulau-pulau kecil di Kabupaten Pandeglang adalah belum jelasnya status pengelolaan/kepemilikan pulau-pulau kecil serta masalah penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil.***(Win)

Sumber : Buku Profil Pulau-pulau Kecil Provinsi Banten