Minggu, 01 Juni 2008

Kontroversi Hak Pengusahaan Pesisir

Tanggal : 14 Maret 2008
Sumber : http://www.inaport2.co.id/index.php?mod=berita&idx=1299

Jakarta (Kompas):
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang memberikan hak pengusahaan perairan pesisir untuk kurun waktu 20 tahun hingga kini masih menuai kontroversi.

Sejumlah kalangan meragukan hak pengelolaan pesisir itu mampu melindungi nelayan dan masyarakat pesisir terhadap kepentingan pemilik modal.

Guna menopang hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), pemerintah berencana menerbitkan aturan zonasi kawasan pesisir tahun ini. Pengaturan tata ruang itu memisahkan kawasan perikanan budidaya dan tangkap sehingga mendorong pengelolaan kawasan secara eksklusif.

Menurut Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Ma’arif, penerbitan HP3 bertujuan mendorong orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Pengaplingan pesisir untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh pemerintah daerah, masyarakat pesisir, dan pengusaha. Pemberian HP3 dinilai akan memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi sekaligus perlindungan kawasan.

”HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum dalam mengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap ikan di perairan,” katanya.

Meski demikian, pelaksanaan HP3 menuai keraguan. Sejumlah kalangan khawatir HP3 yang membuka peluang bagi privatisasi pesisir tidak mampu melindungi nelayan.

Selain itu, privatisasi pesisir selama puluhan tahun dikhawatirkan mengancam kelestarian sumber daya pesisir.

Hapuskan HP3

Pekan lalu, perwakilan organisasi nelayan dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggelar unjuk rasa di Kantor DKP. Mereka menuntut HP3 dihapuskan karena mengancam pencarian nelayan dan pencemaran laut.

Pengurus Solidaritas Nelayan Arakan Rudi Haniko mengatakan, penerbitan HP3 tidak memerhatikan kondisi nelayan tradisional. Lokasi tangkapan ikan selama ini cenderung tidak menentu.

Menjelang musim-musim tertentu, seperti musim angin barat yang kerap diwarnai cuaca buruk dan gelombang pasang, nelayan di sejumlah wilayah juga cenderung berpindah ke lokasi yang lebih aman untuk memperoleh hasil tangkapan.

”Jika pengaplingan pesisir dilakukan, ruang gerak nelayan akan sangat terbatas. Kami bisa kehilangan pencarian,” ungkap Rudi.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Riza Damanik mengatakan, pemerintah harus belajar dari penerapan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang hingga kini masih semrawut dan menuai pertentangan.

Pengelolaan kawasan konservasi selama ini cenderung kaku dan mengabaikan kearifan lokal masyarakat pesisir. Nelayan tradisional tidak dilibatkan dalam pengelolaan kawasan, bahkan dilarang mendekati kawasan konservasi, di antaranya di Taman Nasional Bunaken.

”Pengelolaan kawasan yang mengabaikan peran masyarakat akan terus menimbulkan gejolak dan pertentangan di masyarakat,” ujar Riza.

Kerusakan wilayah pesisir di dunia sesungguhnya cukup mengkhawatirkan. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, 30 persen kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak.

Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, kerusakan terumbu karang di Indonesia mencapai 33,17 persen dari total luas terumbu karang 85.700 hektar.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan, penerbitan HP3 merupakan kebijakan eksperimen pemerintah sebagai bentuk kompromi pendekatan pasar dan populis. Undang-undang yang kompromistis itu hampir tidak ditemukan di negara-negara lainnya.

Menurut Arif, situasi perekonomian nasional menghendaki sumbangan ekonomi dari sektor perikanan sehingga pemerintah berupaya menerapkan kebijakan yang propasar dengan memberi nilai ekonomis pada laut dan mendorong investasi di pulau-pulau kecil.

Kebijakan HP3 itu bermakna multitafsir. Di satu sisi, hal itu mendorong optimalisasi pengelolaan perairan Indonesia yang luas dengan potensi sumber daya yang besar, selain itu juga memberikan perlindungan terhadap aktivitas nelayan dan masyarakat adat.

Namun, di sisi lain, HP3 memberi peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir selama 20 tahun, dapat diperpanjang, dan dialihkan kepada pihak lain.

Kebijakan yang memungkinkan pengalihan hak pengelolaan pesisir memungkinkan terjadinya pemusatan hak pengusahaan pesisir kepada pemodal kuat. Hal itu membuka celah bagi penguasaan pesisir oleh segelintir pemilik modal.

Dualisme penafsiran UU itu pada akhirnya membuat HP3 sulit untuk diterapkan secara seimbang karena timbulnya tarik-menarik kepentingan.

Pemerintah terlambat

Sementara itu, posisi nelayan cenderung lemah karena tidak memiliki wadah yang solid untuk menyalurkan aspirasi sebagai dampak kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan sektor bahari. Akibatnya, kepentingan nelayan mudah tersingkir oleh kepentingan pemilik modal.

”Posisi nelayan yang lemah menyebabkan perencanaan, zonasi, dan pengelolaan pesisir berpotensi memarjinalkan masyarakat nelayan. Hal ini harus disikapi dengan hati-hati oleh pemerintah,” kata Arif.

Sementara itu, pemerintah terlambat menerbitkan aturan turunan UU yang memberikan penjelasan lebih rinci tentang pemanfaatan pesisir dan jaminan perlindungan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Padahal, aturan turunan itu seharusnya ditetapkan Oktober tahun lalu. Kesimpangsiuran aturan turunan menyebabkan UU itu terus menuai perdebatan.

Arif mengatakan, pemerintah harus mampu menempatkan nelayan sebagai aktor utama pengelolaan sumber daya pesisir, seperti diterapkan oleh sejumlah negara yang maju di bidang perikanan. Penempatan nelayan sebagai aktor utama terbukti mampu melindungi kelestarian sumber daya pesisir.

Perlindungan terhadap masyarakat pesisir di antaranya sudah dilakukan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemprov NTB menerbitkan perda yang berisi pengakuan terhadap pengelolaan sumber daya pesisir masyarakat yang disebut awig-awig.

Dengan sistem awig-awig itu, praktik pengeboman ikan turun drastis. Karena itu, keberadaan UU Nomor 27 Tahun 2007 harus menjadi pedoman bagi pengelolaan kawasan pesisir dengan menempatkan nelayan sebagai aktor utama.

Arif mengatakan, pemerintah daerah harus segera membentuk komite masyarakat yang beranggotakan masyarakat, LSM, dan akademisi untuk ikut dalam tahap perencanaan zonasi perairan, pengelolaan pesisir, kawasan konservasi, hingga alur pelayaran nelayan.

Selain itu, menyusun aturan turunan seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang menjamin perlindungan terhadap nelayan dalam pengelolaan pesisir.

Dirjen Perikanan Tangkap Ali Supardan mengatakan, HP3 akan memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan pesisir tanpa mengesampingkan usaha nelayan dan masyarakat pesisir.

Data sementara DKP menyebutkan, jumlah nelayan di laut Indonesia hingga 2007 mencapai 1,96 juta orang. Sebanyak 7,5 persen atau 6,4 juta ton per tahun dari potensi lestari ikan dunia ada di perairan Indonesia.

Sekitar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk budidaya ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya dengan potensi produksi 47 juta ton per tahun.

Total nilai ekonomi produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dollar AS per tahun. Sementara itu, hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak bisa ditawar lagi, harus mengoptimalkan peran nelayan kecil sebagai subyek pengelolaan.

Dengan menguatnya peran masyarakat, diharapkan sejumlah persoalan pesisir, termasuk kemiskinan dan kerusakan ekologis, akan teratasi. (bm lukita grahadyarini/ ryo)

Tidak ada komentar: