Senin, 02 Juni 2008

Enam Kata Keramat Untuk Pesisir

Tanggal : 6-03-2008
Sumber : http://g1s.org/lingkungan-hidup/enam-kata-keramat-untuk-pesisir-722

Oleh Dr. Satia Negara Lubis & Dr. Matius Bangun

Tidak bodoh, tidak sakit dan tidak lapar adalah enam kata yang dijadikan satu semboyan kuat dan terlontar oleh "abah" salah satu calon Gubernur Sumut pada Debat Cagubsu Waspada baru-baru ini. Enam kata itu tampaknya sederhana, bijak, tidak klise, praktis, mudah dicerna dan terkesan lucu apalagi diucapkan dengan gaya yang lucu. Tetapi sesungguhnya itu adalah kata yang mampu menjawab semua pertanyaan tentang Sumatera Utara dan mampu pula memporakporandakan semua jawaban yang aneh-aneh dari calon lainnya.

Tentu saja tulisan ini tidak membahas bagaimana prosesi debat Cagubsu itu dan tulisan ini bukan pula sebagai dukungan atau bantahan pada salah satu Cagubsu. Kami hanya tertarik pada semboyan itu dan coba mengaitkannnya dengan kondisi pesisir kita saat ini. Itu pun kami kaitkan karena calon Cagubsu yang melontarkan enam kata keramat itu sangat dekat dengan pesisir. Tentu saja sekaligus memberi tips kecil buat Cagubsu untuk melengkapkan kata menjadi aksi nyata.

Pesisir Timur-Barat

Wilayah Pesisir Timur Sumatera Utara dikelompokkan menjadi dua wilayah yaitu : (1) Wilayah up-land atau kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan daerah belakang yang berpengaruh terhadap ekosistem kawasan di bawahnya (kawasan pantai pesisir hingga laut). Yang termasuk wilayah up-land: daerah atas adalah Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kab. Langkat, Kab. Labuhan Batu, Kab. Deli Serdang dan Kab. Serdang Bedagai dan (2).Wilayah low-land atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masih dipengaruhi oleh pasang surut pada keenam Kabupaten/Kota tersebut sampai 4 mil ke arah laut.

Kawasan Pantai Timur Sumatera Utara merupakan wilayah pesisir yang mempunyai hamparan mangrove dari daerah pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai selatan Kabupaten Labuhan Batu dengan ketebalan yang bervariasi antara 50-150 meter. Daerah pantai di kawasan Pantai Timur Sumut didominasi oleh pantai berpasir, bak pasir kwarsa maupun feldspar. Keadaan fisik pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh gerakan ombak, khususnya dalam pembentukan ukuran partikel. Luas kawasan Pesisir Timur Sumatera Utara adalah 43.133,44 km2. Kawasan ini cukup subur, suhu udara tinggi, kelembaban udara tinggi dan curah hujan relatif tinggi. Topografi pantai umumnya landai dengan laut yang dangkal.

Sedangkan wilayah pantai pesisir barat Sumatera Utara terdiri dari 6 Kabupaten/Kota ini memiliki hamparan mangrove sekitar 14.270 Ha yang membujur dari pantai selatan Kabupaten Mandailing Natal sampai ke pantai selatan Kabupaten Tapanuli Tengah serta di daerah pulau-pulau di Kabupaten Nias dengan ketebalan antara 50-150 meter. Terumbu karang di Pantai Barat Sumatera Utara terdapat di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan yang tumbuh pada kedalaman 3-10 meter.

Daerah pantai di kawasan Pantai Barat Sumatera Utara sangat bervariasi yaitu daerah yang curam, berbatu dan di beberapa daerah terdapat pantai yang didominasi rawa. Kondisi pantai semacam ini banyak ditemukan di daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Sibolga dan Mandailing Natal. Sedangkan Pantai Kabupaten Nias dan Kab. Nias Selatan didominasi oleh pantai berbatu dan berpasir, khususnya yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Banyaknya terdapat pulau-pulau kecil merupakan ciri yang dimiliki oleh kawasan pesisir barat Sumatera Utara.

Potensi lestari MSY (maximum sustainable yield) Pantai Timur Sumatera Utara (Selat Malaka) menurut hasil survey Ditjen Perikanan (1983) adalah 263.300 ton/tahun. Pantai berpasir yang mendominasi daerah Pantai Timur Sumatera Utara yang terdiri dari pasir kwarsa, feldspar serta sisa-sisa pecahan terumbu karang merupakan peluang bagi pengembangan wisata pantai/wisata bahari seperti Pantai Cermin, Pantai Sialang Buah, Pantai Klang (Kab. Serdang Bedagai); Pantai Kuala Indah, Pantai Sejarah, Pantai Pasir Putih, Pulau Salah Nama dan Pulau Pandan (Kab. Asahan).

Potensi lestari (maximum sustainable yield) sumberdaya hayati perikanan laut Pantai Barat Sumatera Utara adalah 228.834 ton/tahun. Produksi perikanan Pantai Barat berdasarkan hasil tangkapan yang didaratkan adalah sebesar 107.780,5 ton (47%) pada tahun 2000, berarti masih terdapat peluang pemanfaatan sebesar 121.053,5 ton (53%) di Pantai Barat Sumatera Utara. Pesisir barat Sumatera Utara yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia memiliki topografi pantai yang curam dan perairan yang relatif dalam.

SDM Bodoh, Sakit, Lapar

Ironis sekali, di tengah kekayaan pesisir yang cukup besar rakyatnya hidup pada rumah-rumah yang berdinding tepas beratap rumbia dan berlantaikan tanah. Di pesisir banyak anak-anak tidak sekolah dan harus ke laut menjadi buruh siapa saja. Di pesisir banyak jeritan kemiskinan dan stress menghadapi kehidupan yang tidak menentu. Di pesisir jutaan anak-anak tidak sehat karena mereka tidak tahu bagaimana agar sehat. Sedih karena kekayaan yang jelas tampat di hadapannya itu tidak dapat mereka serap layaknya nelayan-nelayan di negeri jiran yang memiliki garasi mobil pada rumah-rumah permanen mereka. Nelayan-nelayan itu hanyalah buruh dari toke-toke yang hidup mewah di tengah keringat mereka dan dari sejak zaman nenek moyang mereka mereka tetap buruh yang menjadi sapi perah. Mereka adalah SDM yang bodoh, sakit dan lapar
Sebenarnya enam kata yang dilontarkan salah seorang Cagubsu kita itu memiliki ruh kemanusiaan yang berintikan pada kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia merupakan hal pokok yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Tentu saja infrastruktur penting tetapi bukan yang pertama mengingat masalah sumberdaya manusia menyangkut pendidikan agar tidak bodoh, kesehatan agar tidak sakit dan ketenagakerjaan agar tidak lapar.

Coba kita simak perbandingan ini. Jumlah penduduk di wilayah Pantai Timur adalah 6.947.200 jiwa sedangkan Pantai Barat adalah 2.575.300 jiwa (101, 68 jiwa/km+) tetapi tingkat pendidikan masyarakat di wilayah pesisir pantai timur rata-rata lebih tinggi dibanding tingkat pendidikan masyarakat di wilayah pesisir pantai barat. Penduduk pantai timur yang berpendidikan SMTP sampai Perguruan Tinggi hanya 33,08% sehingga rendahnya tingkat pendidikan tersebut menyebabkan rendahnya daya serap terhadap Iptek sehingga sering menjadi kendala bagi peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Idealnya untuk mengelola sumberdaya pesisir yang kaya dibutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai bidangnya, mulai dari tingkat ahli madya sampai sarjana, karena pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut membutuhkan teknologi sederhana sampai teknologi yang tinggi. Tetapi sungguh disayangkan Perguruan Tinggi yang bergerak di bidang Kelautan dan Perikanan di Sumatera Utara memang agak terlambat berdirinya, karena setelah terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan baru muncul perguruan tinggi yang berbau kelautan dan perikanan di beberapa Kabupaten/Kota. Dan itu pun memiliki daya serap yang terbatas pada kalangan mereka yang mampu dan hidup bukan di pesisir.

Di Pesisir rendahnya kualitas sumberdaya manusia antara lain disebabkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat karena banyak di antara masyarakat pesisir tidak memiliki dana yang cukup untuk melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Pendidikan yang rendah menggiring masyarakat pesisir tidak mengerti arti sehat dan kalaupun mereka mengerti mereka beranggapan sehat itu terlalu mahal dibandingkan pendapatan mereka sehingga jangan heran sanitasi lingkungan pemukiman wilayah pesisir menjadi sangat buruk

Tips Buat Cagubsu

Untuk menjadikan masyarakat pesisir baik yang ada di Pantai Timur maupun Barat Sumatera Utara tidak bodoh, tidak lapar dan tidak sakit beberapa tips dapat dijalankan oleh Cagubsu yang nantinya terpilih menjadi Gubsu :

1. Agar tidak bodoh maka sebaiknya di wilayah pesisir sarana dan prasarana pendidikan SD dan SLTP serta tenaga guru di dioptimalkan, Frekwensi program pelatihan dan keterampilan masyarakat dalam pengelolaan SDA wilayah pesisir didasarkan kepada kebutuhan bukan pendekatan proyek, mengusulkan dan menyiapkan serta mengimplementasi materi pelajaran tentang pengelolaan wilayah pesisir dalam kurikulum muatan lokal SD dan SLTP. Dan jangan lupa dan jangan ragu berikan sekolah gatis pada masyarakat pesisir yang kurang mampu.

2. Agar tidak sakit maka sebaiknya di wilayah pesisir sarana dan prasarana kesehatan ditingkatkan, kebutuhan tenaga medis sesuai dengan kepadatan penduduk disesuaikan dan mengembangkan rencana perbaikan sistem sanitasi pemukiman dan lingkungan dalam program penyuluhan kesehatan secara kontinu dan terpadu (bukan asal jadi). Jangan lupa dan jangan ragu untuk menggratiskan biaya untuk sehat bagi mayarakat pesisir yang idak mampu

3. Agar tidak lapar maka sebaiknya pengelolaan di wilayah pesisir mulai dari proses perencanaan sampai pengawasan dan evaluasi serta kepedulian dan tanggung jawab melibatkan mayarakat secara aktif dengan pemberdayaan lembaga lokal setempat yang selama ini sudah hilang. Hal ini penting mengingat hampir 75 persen bantuan pemerintah di wilayah pesisir tidak menyentuh pada kenaikan pendapatan nelayan tetapi justru membengkakkan pendapatan toke-toke dan nelayan tetap menjadi buruh yang cari makan dua minggu dimakan habis satu minggu. Dan cobalah memberikan perlindungan dan pendampingan pada nelayan dengan sungguh-sungguh mengingat persoalan-persoalan legislasi usaha kecil mikro dan transfer teknologi yang menggiring mereka pada tidak lapar sering jalan di tempat dan pengambil kebijakanpun pura-pura bodoh.

Penutup

Tidak bodoh, tidak lapar dan tidak sakit adalah anugrah besar bagi bangsa ini dan menjadi cita-cita rakyat yang kini sedang bodoh, sedang lapar dan sedang sakit. Lihatlah mereka di pesisir itu yang terkagum-kagum dengan enam kata keramat itu tetapi mereka terngangap-ngangap menanti implementasi. Mudah-mudah tidak ada dusta di antara kita.

* Penulis SNL adalah dosen USU, Matius B pemerhati pesisir


Minggu, 01 Juni 2008

Program Agro-marinepolitan Pesisir Pantai dan Pulau Kecil Sumut Cukup Prospektif

Tanggal : 28 Juni 2006
Sumber : http://www.bainfokomsumut.go.id/detail.php?id=994

Medan,
Program Agro-marinepolitan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Kecil Sumut memiliki prospek yang cukup cerah yang muaranya dimaksudkan untuk memacu kemajuan dan kemakmuran secara berkelanjutan dan berkeadilan melalui pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir, kelautan dan perikanan.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Sumut Drs RE Nainggolan MM mengemukakan hal itu kepada wartawan di Kantor Gubsu Medan.

Nainggolan didampingi Kepala Badan Informasi dan Komunikasi (Infokom ) Propinsi Sumut Drs H Eddy Syofian MAP menjelaskan dasar dari program ini yakni Nota Kesepahaman 16 Kabupaten/ Kota se-Sumut dengan Pempropsu tanggal 13 April 2006 yang telah melahirkan kesamaan pandang untuk melaksanakan Program Agro-marinepolitan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Kecil Sumut.

Dikemukakan, salah satu potensi pembangunan yang dapat dijadikan sumber kemakmuran Sumut dan Indonesia pada umumnya adalah sumberdaya kelautan dan perikanan. “Luas laut Sumut sekira 110.000 km persegi (60,5 persen dari total luas Sumut), panjang total garis pantai 1300 km terdiri 545 km pantai timur, 375 km pantai barat dan 380 km pantai Pulau Nias, jumlah pulau 419 dengan pulau terluar di pantai timur yakni Pulau Berhala dan pantai barat Pulau Simuk. Inilah antara lain potensi kelautan dan perikanan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil Sumut,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, Sumut juga memiliki 27.019,57 hektar hutan mangrove atau bakau dalam keadaan baik dan 36.447,83 hektar dalam keadaan rusak yang tersebar di enam kabupaten, sementara potensi di Nias juga cukup besar namun belum didata.

Sedangkan potensi sumberdaya ikan di laut wilayah pantai barat sekitar 1.076.960 ton per tahun, tingkat pemanfaatan tahun 2003 sekitar 94.703 ton atau 8,79 persen dan jenis ikan unggulan yakni tuna, tongkol, kakap, kerapu, kembung, tenggiri, teri, layur, ikan hias dan lain-lain. Potensi di pantai timur sekitar 276.030 ton per tahun, tingkat pemanfaatan tahun 2003 sekitar 250.489 ton (90,75 persen) dan jenis ikan unggulan kakap, kerapu, teri, kembung, tenggiri, tembang, japuh, pari, cakalang dan lain-lain.

Potensi ekonomi perikanan budidaya yakni 71.500 hektar budidaya tambak potensial, 734.000 hektar budidaya laut perairan laut potensial, serta potensi pariwisata bahari dan potensi pertambangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain pertambangan minyak di Blok Asahan, bahan galian strategis seperti enerji, panas bumi, timah putih serta bahan galian vital seperti pasir kuarsa, kaolin dan bauksit.

Permasalahan yang ada saat ini antara lain belum ada cetak biru (blueprint) pembangunan perikanan dan kelautan yang disepakati dan diimplementasikan bersama secara produktif dan strategis. Kegiatan usaha perikanan umumnya dikerjakan secara tradisional, belum menggunakan iptek dan manajemen profesional sehingga pendapatan masyarakat pesisir dan nelayan rendah. Kegiatan usaha perikanan tidak dilakukan dengan menerapkan sistem bisnis perikanan terpadu, kurangnya SDM trampil, minimnya prasarana, minimnya dukungan permodalan, teknologi, pasar dan informasi dan lainnya.

Program agro-marinepolitan ini dimaksudkan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku usaha perikanan khususnya nelayan dan pembudidayaan ikan tradisional, meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat dan lainnya, serta pengembangan industri pengolahan hasil perikanan seperti pembekuan, pengalengan, tepung ikan, added value products serta surimi.

Rencana tindak lanjut program ini yakni membentuk Tim Badan Koordinasi Dewan Pakar, Tim Teknis, kontak bisnis serta staf pelaksana haruan Program Agro-marinepolitan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Kecil Sumatera Utara. Selain itu, juga akan disusun master plan Program Agro-marinepolitan Pesisir Pantai dan Pulau-pulau Kecil Sumatera Utara.

Sementara keadaan tahun 2006, produksi penangkapan ikan 324.289 ton dengan jumlah dana sebesar Rp 1.621.445.000.000 dan budi daya ikan laut serta tambak 19.033 ton dengan jumlah dana sebesar Rp 280.660.000.000. Sedangkan keadaan tahun 2011 diprediksikan, produksi penangkapan ikan mencapai 375.000 ton dengan jumlah dana Rp 2.200.000.000.000 dan budi daya ikan laut serta tambak diprediksikan 30.000 ton dengan jumlah dana Rp 900.000.000.000.

Adapun pendapayan yang diharapkan selama 5 tahun adalah Rp 1,097 triliun dan target pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2006 sebesar Rp 1,2 miliar dan diharapkan dapat diperoleh sebesar Rp 5 miliar apabila prasarana dan sarana dapat difungsikan.

Kontroversi Hak Pengusahaan Pesisir

Tanggal : 14 Maret 2008
Sumber : http://www.inaport2.co.id/index.php?mod=berita&idx=1299

Jakarta (Kompas):
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang memberikan hak pengusahaan perairan pesisir untuk kurun waktu 20 tahun hingga kini masih menuai kontroversi.

Sejumlah kalangan meragukan hak pengelolaan pesisir itu mampu melindungi nelayan dan masyarakat pesisir terhadap kepentingan pemilik modal.

Guna menopang hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), pemerintah berencana menerbitkan aturan zonasi kawasan pesisir tahun ini. Pengaturan tata ruang itu memisahkan kawasan perikanan budidaya dan tangkap sehingga mendorong pengelolaan kawasan secara eksklusif.

Menurut Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Ma’arif, penerbitan HP3 bertujuan mendorong orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Pengaplingan pesisir untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh pemerintah daerah, masyarakat pesisir, dan pengusaha. Pemberian HP3 dinilai akan memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi sekaligus perlindungan kawasan.

”HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum dalam mengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap ikan di perairan,” katanya.

Meski demikian, pelaksanaan HP3 menuai keraguan. Sejumlah kalangan khawatir HP3 yang membuka peluang bagi privatisasi pesisir tidak mampu melindungi nelayan.

Selain itu, privatisasi pesisir selama puluhan tahun dikhawatirkan mengancam kelestarian sumber daya pesisir.

Hapuskan HP3

Pekan lalu, perwakilan organisasi nelayan dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggelar unjuk rasa di Kantor DKP. Mereka menuntut HP3 dihapuskan karena mengancam pencarian nelayan dan pencemaran laut.

Pengurus Solidaritas Nelayan Arakan Rudi Haniko mengatakan, penerbitan HP3 tidak memerhatikan kondisi nelayan tradisional. Lokasi tangkapan ikan selama ini cenderung tidak menentu.

Menjelang musim-musim tertentu, seperti musim angin barat yang kerap diwarnai cuaca buruk dan gelombang pasang, nelayan di sejumlah wilayah juga cenderung berpindah ke lokasi yang lebih aman untuk memperoleh hasil tangkapan.

”Jika pengaplingan pesisir dilakukan, ruang gerak nelayan akan sangat terbatas. Kami bisa kehilangan pencarian,” ungkap Rudi.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Riza Damanik mengatakan, pemerintah harus belajar dari penerapan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang hingga kini masih semrawut dan menuai pertentangan.

Pengelolaan kawasan konservasi selama ini cenderung kaku dan mengabaikan kearifan lokal masyarakat pesisir. Nelayan tradisional tidak dilibatkan dalam pengelolaan kawasan, bahkan dilarang mendekati kawasan konservasi, di antaranya di Taman Nasional Bunaken.

”Pengelolaan kawasan yang mengabaikan peran masyarakat akan terus menimbulkan gejolak dan pertentangan di masyarakat,” ujar Riza.

Kerusakan wilayah pesisir di dunia sesungguhnya cukup mengkhawatirkan. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, 30 persen kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak.

Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, kerusakan terumbu karang di Indonesia mencapai 33,17 persen dari total luas terumbu karang 85.700 hektar.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan, penerbitan HP3 merupakan kebijakan eksperimen pemerintah sebagai bentuk kompromi pendekatan pasar dan populis. Undang-undang yang kompromistis itu hampir tidak ditemukan di negara-negara lainnya.

Menurut Arif, situasi perekonomian nasional menghendaki sumbangan ekonomi dari sektor perikanan sehingga pemerintah berupaya menerapkan kebijakan yang propasar dengan memberi nilai ekonomis pada laut dan mendorong investasi di pulau-pulau kecil.

Kebijakan HP3 itu bermakna multitafsir. Di satu sisi, hal itu mendorong optimalisasi pengelolaan perairan Indonesia yang luas dengan potensi sumber daya yang besar, selain itu juga memberikan perlindungan terhadap aktivitas nelayan dan masyarakat adat.

Namun, di sisi lain, HP3 memberi peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir selama 20 tahun, dapat diperpanjang, dan dialihkan kepada pihak lain.

Kebijakan yang memungkinkan pengalihan hak pengelolaan pesisir memungkinkan terjadinya pemusatan hak pengusahaan pesisir kepada pemodal kuat. Hal itu membuka celah bagi penguasaan pesisir oleh segelintir pemilik modal.

Dualisme penafsiran UU itu pada akhirnya membuat HP3 sulit untuk diterapkan secara seimbang karena timbulnya tarik-menarik kepentingan.

Pemerintah terlambat

Sementara itu, posisi nelayan cenderung lemah karena tidak memiliki wadah yang solid untuk menyalurkan aspirasi sebagai dampak kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan sektor bahari. Akibatnya, kepentingan nelayan mudah tersingkir oleh kepentingan pemilik modal.

”Posisi nelayan yang lemah menyebabkan perencanaan, zonasi, dan pengelolaan pesisir berpotensi memarjinalkan masyarakat nelayan. Hal ini harus disikapi dengan hati-hati oleh pemerintah,” kata Arif.

Sementara itu, pemerintah terlambat menerbitkan aturan turunan UU yang memberikan penjelasan lebih rinci tentang pemanfaatan pesisir dan jaminan perlindungan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Padahal, aturan turunan itu seharusnya ditetapkan Oktober tahun lalu. Kesimpangsiuran aturan turunan menyebabkan UU itu terus menuai perdebatan.

Arif mengatakan, pemerintah harus mampu menempatkan nelayan sebagai aktor utama pengelolaan sumber daya pesisir, seperti diterapkan oleh sejumlah negara yang maju di bidang perikanan. Penempatan nelayan sebagai aktor utama terbukti mampu melindungi kelestarian sumber daya pesisir.

Perlindungan terhadap masyarakat pesisir di antaranya sudah dilakukan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemprov NTB menerbitkan perda yang berisi pengakuan terhadap pengelolaan sumber daya pesisir masyarakat yang disebut awig-awig.

Dengan sistem awig-awig itu, praktik pengeboman ikan turun drastis. Karena itu, keberadaan UU Nomor 27 Tahun 2007 harus menjadi pedoman bagi pengelolaan kawasan pesisir dengan menempatkan nelayan sebagai aktor utama.

Arif mengatakan, pemerintah daerah harus segera membentuk komite masyarakat yang beranggotakan masyarakat, LSM, dan akademisi untuk ikut dalam tahap perencanaan zonasi perairan, pengelolaan pesisir, kawasan konservasi, hingga alur pelayaran nelayan.

Selain itu, menyusun aturan turunan seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang menjamin perlindungan terhadap nelayan dalam pengelolaan pesisir.

Dirjen Perikanan Tangkap Ali Supardan mengatakan, HP3 akan memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan pesisir tanpa mengesampingkan usaha nelayan dan masyarakat pesisir.

Data sementara DKP menyebutkan, jumlah nelayan di laut Indonesia hingga 2007 mencapai 1,96 juta orang. Sebanyak 7,5 persen atau 6,4 juta ton per tahun dari potensi lestari ikan dunia ada di perairan Indonesia.

Sekitar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk budidaya ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya dengan potensi produksi 47 juta ton per tahun.

Total nilai ekonomi produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dollar AS per tahun. Sementara itu, hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak bisa ditawar lagi, harus mengoptimalkan peran nelayan kecil sebagai subyek pengelolaan.

Dengan menguatnya peran masyarakat, diharapkan sejumlah persoalan pesisir, termasuk kemiskinan dan kerusakan ekologis, akan teratasi. (bm lukita grahadyarini/ ryo)

PERDA PESISIR DAN PULAU TERPENCIL DIGARAP 2008

Tanggal : 12 Desember 2007
Sumber : http://balitbang.depkominfo.go.id/?mod=CLDEPTKMF_BRT01&view=1&id=BRT071212134801&mn=BRT0100%7CCLDEPTKMF_BRT01

Jayapura, 12/12/2007 (Kominfo Newsroom) -

Dinas Perikanan dan Kelautan Papua Tahun 2008 akan menggarap Peraturan Daerah (Perda) pesisir dan pulau-pulau terpencil sesuai amanat UU 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir di pulau-pulau terpencil.

“Pembentukan Perda ini, untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan potensi sumber daya pesisir dan pulau terpencil yang melibatkan masyarakat diwilayah pesisir dan pulau terpencil," kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, Ir. Astiler Maharadja, di sela-sela acara pembukaan lokakarya daerah program mitra bahari, bertempat di ruang rapat Uniyap Jayapura, Selasa (11/12).

Menurut Astiler, potensi perikanan dan kelautan Papua yang cukup besar, seharusnya dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dilaut dan masyarakat pesisir lainnya yang menggantungkan penghidupannya dari laut.

Namun pada kenyataannya, potensi laut yang besar itu belum sepenuhnya dapat mensejahterakan masyarakat karena berbagai kendala yang dihadapi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua dalam mengelola sumber daya perikanan tersebut.

Kendala yang dimaksud antara lain belum memadainya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pelaksana dan pengelola pembangunan kelautan dan perikanan serta belum efektifnya fungsi koordinasi lintas instansi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam yang seringkali disebabkan adanya ego-sektoral.

Untuk itu, keberadaan PMB atau Program Mitra Bahari, sangat diharapkan peran dan kiprahnya untuk menggarap program-program pembangunan perikanan dan kelautan di Provinsi Papua.

“Harapan saya melalui lokakarya Daerah ini, dapat dirumuskan suatu mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat mengubah kehidupan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan yang bermukim pada kawasan tersebut,” katanya.

Sementara itu, Astiler Maharadja menyambut baik niat pihak Uniyap (Universitas Yapis Papua) yang berkeinginan menjalin kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua.

Ia berharap pihak Uniyap dalam waktu-waktu kedepan bisa menciptakan SDM-SDM kelautan yang dapat mendukung pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan hingga pengawasan perikanan dan kelautan di Papua.

Hal yang sama ditegaskan Rektor Uniyap Jayapura, Muhdi H. Ibrahim, SE, MM. Namun demikian, pihaknya berharap kerjasama yang dibangun itu tidak hanya sebatas pada pelaksanaan kegiatan saja. Melainkan kepada penyusunan program kerja pengelolaan hingga kepada pengawasan perikanan dan kelautan di Papua. Kegiatan lokakarya daerah ini, diikuti sekitar 30 perserta anggota konsorsium yang terdiri dari instansi-instansi terkait.

Ketua Panitia pelaksana, Rafles Harwai dalam laporannya menegaskan tujuan digelarnya kegiatan lokakarya daerah program mitra bahari ini adalah sebagai kegiatan sosialisasi program mitra bahari serta menjaring isu-isu pengelolaan daerah kelautan pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Provinsi Papua. (www.papua.go.id/Rn/afp/toeb)